Bermula dari pertanyaan mendasar, "sebenarnya siapa sih yang menentukan arah opini media itu?, pemilik modal/saham, redaksi, atau pembaca/pemirsa?."
Dewasa ini di era kecanggihan teknologi dan informasi dunia media telah habis-habisan didikte oleh logika pasar.
Sebagai penulis sekaligus jurnalis, kita dicerahkan, jangan sampai kita hanya pandai mengemas berita semata melainkan juga mendasari saat menyajikan berita dengan etika komunikasi. Dengan begitu semoga sampai pada kebutuhan terdalam para pembaca, pendengar ataupun pemirsa.
Jika merujuk pada pandangan James Curran (2000) dengan alasan: Pertama, pemilik media perlu mempertahankan kepentingan pembaca agar tetap diminati. Kedua, pemilik dan staf redaksi ingin mendapatkan legitimasi publik untuk menghindari sanksi masyarakat, Ketiga, media sangat dipengaruhi oleh kepribadian profesional dari stafnya. (lihat Dr. Haryatmoko, Hal, 87-88: Etika Komunikasi).
Dan media sosial termutakhir ini, tengah diramaikan dengan tagar hastag #BoikotTrans7. Perbincangan ini dari berbagai kalangan terutama daru kalangan santri dan masyarakat pesantren. Kalau dicermati dari kebutuhan akan sensasi, tayangan berita semacam itu memang layak jual di pasaran. Dan sudah diketahui bersama, mesti redaksi tentu sudah tahu bahwa pertama-tama bukan kolom opini atau editorial yang membentuk opini masyarakat, tetapi berita.
Dalam kasus termutakhir, dari salah satu televisi Indonesia, TRANS7 yang tengah menjadi sorotan dengan produksi satu programnya, yakni: Xpose Uncensored, dalam tayangan program Xpose Uncensored Trans 7, sebetulnya yang mereka berikan bukan informasi, tetapi komunikasi yang seharusnya sebelum ditayangkan ke publik artinya tim media yang menggarap program Xpose Uncensored
telah menyampaikan informasi yang diizinkan oleh pihak yang menjadi objek pemberitaan (dalam hal ini; sosok kyai dan santri) di dalam video tersebut dengan judul "Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok?”. Bunyi kalimat inilah yang ternyata menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, di Jawa Timur termasuk sosok kiai yang ada di dalam video Xpose Uncensored yang merupakan sesepuh dari Pondok Pesantren Lirboyo, KH Anwar Manshur.
Segmen program yang ditayangkan Xpose Uncensored ini pada Hari Senin, 13 Oktober 2025. Dari dampak segmen tersebut, pada akhirnya bermunculan gelombang aksi protes dengan tagar #BoikotTRANS7 yang bergema dan berseliweran di media sosial, termasuk para santri dan komunitas pesantren turut memprotes dan keberatan atas tayangan Xpose Uncensored, (Senin, 13/10/2025).
Ketersinggungan semakin menyulut lantaran narator tayangan Xpose Uncensored itu menyampaikan;
“Ketemu kiai nya masih ngesot dan cium tangan. Dan ternyata yang ngesot itulah yang ngasih amplop. Netizen curiga bahwa bisa jadi inilah kenapa sebagian kiai makin kaya raya,” kata si narator dari tayangan program Xpose Uncensored tersebut.
"Orang sering mengumpat dan protes terhadap media massa tertentu karena dianggap memanipulasi berita. Para pemimpin redaksi dan wartawan di hadapkan pada dilema pelik dari situasi konflik. Di lain pihak publik mendapatkan informasi tentang kejadian meskipun seringkali menyakitkan berkat para wartawan.
Masalah yang terjadi ini, menyangkut peran media dalam ruang publik.
"Haruskah media berbicara atau membesar-besarkan berita tentang dunia pesantren dan santri dengan khasanah tradisi budaya: Roan (kerja bakti) misalnya, atau dengan budaya santri di pesantren yaitu cara jalan jongkok dan bisa saja narator Xpose Uncensored tidak menggunakan kata "ngesot" tetapi ada istilah lainnnya;
"Bercangkung," yang merujuk pada posisi di mana seseorang menekuk salah satu atau kedua lututnya hingga menyentuh atau berada di atas permukaan."
Ini akibat elaborasi informasi yang tidak bertanggung jawab, dalam dilema tayangan program TRANS7 "Xpose Uncensored ", terdapat dua dimensi etika komunikasi tidak menemukan artikulasinya, yaitu dimensi sarana (polity) atau dimensi tujuan (policy). Sehingga publik mengajukan keberatan atau mengungkapkan keluhannya terhadap media melalui sosial media.
Sebagaimana pandangan dari Ulrich Beck: "tanpa rasionalitas sosial, rasionalitas ilmiah akan tetap kosong, tanpa rasionalitas ilmiah, rasionalitas sosial menjadi mata gelap." Selasa, 14/10/2025.
(Sumber: Dr. Haryatmko: etika komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi.,).
