Subscribe Us

header ads

Jika Lupa Kerjakan Tasyahud Awal|i'anatut thalibin

JIKA LUPA TIDAK MENGERJAKAN TASYAHUD AWAL
Tasyahud awal merupakan salah satu bagian dari sunah ab’adh, suatu sunah yang apabila tidak dikerjakan, baik sengaja ataupun lupa, itu disunahkan menambalnya dengan sujud sahwi, yaitu sujud yang dilakukan setelah selesai membaca tasyahud akhir dan sebelum salam. Bila hal tersebut terjadi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan berdasarkan penjelasan Syekh Zainudin Al-Malibari dalam Fathul Muin dan Syeh Abu Bakar Syatha dalam I'anatut Thalibin berikut: 

Bagi seseorang yang salat sendiri (atau saat menjadi imam) itu lupa melakukan tasyahud awal, maka ia tidak diperkenankan kembali untuk melakukannya setelah ia dalam posisi melakukan bagian fardlu, berdiri tegak i’tidal misalnya. Sehingga, barang siapa meninggalkan tasyahud awal, kemudian ia ingat setelah dalam posisi berdiri tegak, maka tidak diperkenankan kembali ke posisi tasyahud.

(ولو نسي) منفرد أو إمام (بعضا) كتشهد أول أو قنوت، (وتلبس بفرض) من قيام أو سجود، لم يجز له العود إليه.   

Jikalau seorang yang shalat sendiri atau imam lupa mengerjakan sunnah ab‘adh seperti tasyahhud awal atau doa qunut dan telah mengerjakan fardhu seperti berdiri atau sujud, maka tidak diperbolehkan baginya untuk kembali mengerjakan sunnah ab‘adh tersebut (1). 

(وقوله: العود إليه) أي إلى ذلك البعض المنسي. وإنما لم يجز العود لما صح من الاخبار، ولتلبسه بفرض فعلي يقطعه لاجل سنة. 

Yaitu kembali untuk melakukan sunah ab'adh yang terlupakan, tidak boleh kembali karena adanya hadits shaḥiḥ tentang hal tersebut dan sebab telah masuk ke dalam perkara yang fardhu, hingga tidak diperbolehkan untuk memutus guna melaksanakan kesunnahan. 

Sebagaimana Hadis riwayat Ibnu Khuzaimah berikut ini:

فَلَمَّا اعْتَدَلَ مَضَى وَلَمْ يَرْجِعْ

Maka di saat beliau sudah berdiri tegak, beliau tetap melanjutkan, dan tidak kembali duduk lagi (HR. Ibnu Khuzaimah)

Dan hadist riwayat Imam Ahmad berikut:

أَمَّنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الظُّهْرِ أَوْ الْعَصْرِ فَقَامَ فَقُلْنَا سُبْحَانَ اللَّهِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يَعْنِي قُومُوا فَقُمْنَا

Rasulullah s.a.w. mengimami kami shalat zuhur atau ashar, lalu beliau berdiri (padahal seharusnya tahiyat awal), lalu kami katakan: “Subhanalloh.” Beliaupun mengatakan: “Subhanalloh.” Beliau berisyarat dengan tangannya, yaitu: “berdirilah”. Maka kamipun berdiri. (HR. Ahmad)

Syekh Zainudin Al-Malibari melanjutkan keterangannya: Jika ia tetap kembali ke posisi tasyahud ketika sudah berdiri tegak i’tidal, dan tahu bahwa itu haram, maka salatnya batal. Namun, jika dalam keadaan lupa, atau tidak tahu akan keharamannya, maka salatnya tidak batal namun harus langsung berdiri ketika sudah ingat.

Namun jika ia belum dalam posisi melakukan fardhu atau berdiri i’tidal, maka boleh baginya duduk kembali.

(فإن عاد) له بعد انتصاب، أو وضع جبهته عامدا عالما بتحريمه (بطلت) صلاته، لقطعه فرضا لنفل. 

Jika ia kembali dengan sengaja dan mengetahui keharamannya setelah berdiri tegak atau setelah meletakkan keningnya, maka shalatnya batal sebab telah memutus kefardhuan untuk sebuah kesunnahan. 

(لا) إن عاد له (جاهلا) بتحريمه. وإن كان مخالطا لنا لان هذا مما يخفى على العوام، وكذا ناسيا أنه فيها فلا تبطل لعذره، ويلزمه العود عند تعلمه أو تذكره. (لكن يسجد) للسهو لزيادة قعود أو اعتدال في غير محله. (ولا) إن عاد (مأموما)

Tidak batal jika ia kembali untuk kesunnahan itu sebab tidak tahu keharamannya, walaupun ia bercampur dengan ‘ulama’ kita sebab permasalahan ini merupakan sebagian permasalahan yang jarang diketahui oleh orang awam, (2) begitu pula sebab lupa bahwa dirinya berada dalam shalat, maka hukum shalatnya tidak batal karena adanya ‘udzur. Wajib untuk kembali saat ia mengerti atau ingat namun disunnahkan untuk sujud sahwi, sebab telah menambahi duduk atau i‘tidal di selain tempatnya. 

(وقوله: مما يخفى على العوام) أي لانه من الدقائق. قال ح ل: ولا نظر لكونهم مقصرين بترك التعلم. اه‍. 

Sebab permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang rumit. Tidak dipandang apakah orang tersebut ceroboh dengan tidak mau belajar

فلا تبطل صلاته إذا انتصب أو سجد وحده (سهوا، بل عليه) أو على المأموم الناسي (عود) لوجوب متابعة الامام. فإن لم يعد بطلت صلاته إن لم ينو مفارقته، أما إذا تعمد ذلك فلا يلزمه العود بل يسن له. كما إذا ركع مثلا قبل إمامه، ولو لم يعلم الساهي حتى قام إمامه لم يعد.  

Juga tidak batal jika ia kembali sebab menjadi ma’mum, maka tidaklah batal shalatnya saat telah berdiri tegak atau sujud sendiri dalam keadaan lupa, bahkan wajib bagi ma’mum yang lupa untuk kembali sebab wajibnya mengikuti imam. Jika ia tidak kembali, maka batallah shalatnya jika ia tidak berniat memisahkan diri dari imam. Sedangkan jika ma’mum tersebut menyengaja hal tersebut, maka tidak wajib baginya untuk kembali namun hukumnya sunnah saja, seperti contoh ketika ma’mum ruku‘ sebelum imamnya. (3) Jika ma’mum yang lupa tidak tahu keberadaan imam sampai imam berdiri maka jangan kembali. 

(قوله: كما إذا ركع مثلا قبل إمامه) أي فإنه يسن له العود إذا تعمد الركوع قبله. فالكاف للتنظير في سنية العود في هذه الحالة. أما إذا ركع قبله ناسيا فلا يلزمه العود ولا يسن منه بل يتخير. 

Artinya jika sengaja ruku‘ sebelum imam, maka disunnahkan untuk kembali, sedang bila lupa ruku‘ sebelum imam maka tidak diwajibkan dan tidak disunnahkan kembali, namun boleh memilih kembali atau tidak.

قال البغوي: ولم يحسب ما قرأه قبل قيامه. وتبعه الشيخ زكريا، 

Imam Baghawi mengatakan: Apa yang telah dibaca tidak dihitung sebelum berdirinya ma’mum, dan Imam Syaikh Zakariyya mengikuti pendapat tersebut. 

قال شيخنا في شرح المنهاج: وبذلك يعلم أن من سجد سهوا أو جهلا وإمامه في القنوت لا يعتد له بما فعله، فيلزمه العود للاعتدال،

Guru kita berkata dalam Syarḥ Minhaj: 
Dengan perkataan Imam Baghawi itu dapat diketahui bahwa ma’mum yang sujud sebab lupa atau tidak tahu, sedang imamnya dalam posisi qunut maka pekerjaannya tidaklah dianggap, hingga wajib baginya untuk kembali i‘tidal, walaupun ma’mum berniat memisahkan diri dengan imam. 

وإن فارق الامام، أخذا من قولهم: لو ظن سلام الامام فقام ثم علم في قيامه أنه لم يسلم لزمه القعود ليقوم منه، ولا يسقط عنه بنية المفارقة وإن جازت، لان قيامه وقع لغوا، ومن ثم لو أتم جاهلا لغا ما أتى به فيعيده ويسجد للسهو.

Hal itu disebabkan perkataan para ‘ulama’ yang menyatakan: Jikalau ma’mum menduga salamnya imam, lantas ia berdiri, lalu ia tahu saat berdiri bahwa imam belum salam, maka wajib baginya untuk kembali duduk untuk dapat berdiri lagi, tidaklah gugur darinya kewajiban untuk duduk dengan berniat memisahkan diri dari imam, walaupun hal itu boleh sebab berdirinya ma’mum tidak dianggap berarti. Oleh karena itu, jikalau ma’mum menyempurnakan shalatnya dengan keadaan tidak mengerti posisi imam, maka apa yang telah dikerjakan tidak berarti, hingga wajib baginya untuk kembali dan sujud sahwi. 

وفيما إذا لم يفارقه إن تذكر أو علم وإمامه في القنوت فواضح أنه يعود إليه، أو وهو في السجدة الاولى عاد للاعتدال وسجد مع الامام، أو فيما بعدها. فالذي يظهر أنه يتابعه ويأتي بركعة بعد سلام الامام. انتهى.

Dalam permasalahan ketika ma’mum tidak niat memisahkan diri dari imam jika ma’mum ingat atau tahu, sedang imam berada dalam posisi qunut, maka hukumnya telah jelas bahwa ia wajib kembali. Atau imam berada pada posisi sujud awal, maka ma’mum wajib untuk kembali ke posisi i‘tidāl dan sujūd bersamaan imam. Atau ingat dan tahunya ma’mum setelah imam berada pada posisi setelah sujud awal, maka hukum yang jelas adalah ia harus mengikuti imam dan menambah satu raka‘at setelah salam imam. -Selesai-.

(I'anatut Thalibin 1/199)